Laman

08 Agustus 2010

Menggunting 'Uang Macan'

SOROT 95
Menggunting 'Uang Macan'
Mata uang Indonesia pernah gonjang-ganjing di masa Orde Lama. Apa dampak pemotongan uang?
Sabtu, 7 Agustus 2010, 11:12 WIB
Karaniya Dharmasaputra, Anda Nurlaila

Pemotongan nilai rupiah (www.dinarislam.com)
VIVAnews – Ingatan pengusaha Sofjan Wanandi melayang ke 51 tahun silam. Dia baru duduk di bangku Sekolah Menengah Atas ketika menjadi saksi sejarah pemotongan nilai mata uang, atau sanering, di tahun 1959.


Ketika itu, Senin, 24 Agustus 1959, tepat pukul 14.30 WIB, sebuah pengumuman penting disiarkan melalui Radio Republik Indonesia. Menteri Muda Penerangan, Maladi mengumumkan kebijakan pemotongan nilai uang kertas Rupiah dengan denominasi Rp500 (bergambar macan) dan Rp1.000 (yang bergambar gajah) menjadi tinggal sepesepuluhnya--masing-masing bernilai hanya Rp50 dan Rp100. Pemotongan tak diberlakukan untuk uang dengan denominasi yang lebih kecil.


Keesokan harinya, Sofjan menyaksikan pemandangan yang tak bisa dilupakannya. Matahari belum lagi terbit, tapi antrean panjang sudah mengular di depan pertokoan. Baru saja toko dibuka, para pembeli sudah menyerbu. Sembako, pakaian, emas, apapun mereka borong.

Penjual bingung, antara harus girang atau was-was. Dagangan mereka laris manis, namun nyatanya hari itu mereka rugi besar. Lembaran 'uang macan’ dan ‘gajah’ yang mereka terima nyaris tak lagi bernilai. Sadar ada yang tak beres, sontak toko-toko ditutup. Barang-barang pun hilang dari peredaran.

Panik melanda, terutama para kaum berduit. Mereka ingin buru-buru mengenyahkan ‘macan’ dan ‘gajah’ dari dompet. Bank pun diserbu warga yang ingin menukarkan uang sebelum batas waktu yang ditentukan, 1 Januari 1960.

“Ekonomi masyarakat berantakan. Orang tidak percaya lagi dengan rupiah,” cerita Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sofjan Wanandi kepada VIVAnews.com. “Karena tidak percaya uang lagi, orang lebih memilih menimbun barang.”

Bahkan, sebagian warga kembali beralih ke sistem barter.

Kisruh ekonomi dengan cepat menjalar ke daerah. Orang kota yang gagal membelanjakan uang pecahan Rp1.000 dan Rp500 melarikan ‘macan’ ke desa. Sapi, kambing, bahkan tanah dan sawah, berpindah tangan dengan cepat.

Kegirangan sesaat penduduk desa berakhir dengan kepanikan.

Endang, 72, seorang warga Cilacap, mengenang, saat itu ada saja kabar si A atau si B stres gara-gara sanering. “Apalagi yang baru jual tanah. Sudah tanah hilang, uang yang didapat tidak berguna,” kata dia. “Makin banyak duit malah makin tertekan.”

Tak hanya rakyat kebanyakan yang jadi korban. Tak kurang, Presiden Soekarno pun mengaku merugi dengan kebijakan yang dia teken sendiri itu.

Pada 5 September 1959, surat kabar Singapura The Straits Times memuat berita dengan judul “Devaluation hit me, too. Soekarno” di halaman depan.
“Reformasi ekonomi ini juga membuat saya rugi,” demikian kata Soekarno, saat bicara di Medan, Sumatera Utara. Ia tidak menyebutkan berapa nilai uangnya yang melayang.

Soekarno mengatakan, ia tak mungkin memerintahkan ajudannya menukar uang pecahan besar miliknya ke yang lebih kecil. Hal itu akan menimbulkan kecurigaan publik. “Untuk menjaga rahasia negara, saya memutuskan untuk mengorbankan uang pribadi,” begitu kata Soekarno seperti dikutip Straits Times.

***

Dampak luar biasa dari kebijakan sanering 1959 itu direkam JAC MacKie dalam bukunya "Problems of the Indonesian Inflation." Ia menulis betapa hanya dalam satu malam pemerintah berhasil mengurangi sirkulasi uang secara drastis, dari Rp34 miliar menjadi Rp24 miliar. Namun, kebijakan ini memicu krisis likuiditas dan menciptakan bencana dalam kehidupan ekonomi masyarakat.

Buku “Sejarah Bank Indonesia” yang diterbitkan bank sentral mengungkapkan, meski kebijakan sanering meningkatkan keuntungan pemerintah sebesar Rp8.521 juta--berkat penurunan nilai uang macan dan gajah--tingkat likuiditas merosot. Akibatnya, bank tidak bisa mengucurkan kredit kepada perusahaan untuk kegiatan ekspor, impor, produksi, dan distribusi.

Selain itu, kebijakan pengetatan moneter tahun 1959 yang dilancarkan oleh pemerintah tidak kuasa menghambat laju inflasi, malahan makin mempertingginya. Harga-harga dan biaya hidup di tahun 1959 melejit, membuat rakyat menjerit.

Kebijakan gagal ini, ternyata diputuskan pemerintah tanpa berkoordinasi terlebih dahulu dengan Bank Indonesia. Buntutnya, Gubernur BI pada waktu itu, Mr. Loekman Hakim, memilih mundur.

***

Kebijakan sanering 1959 bukanlah yang kali pertama. Sembilan tahun sebelumnya, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, Syafruddin Prawiranegara, juga mengeluarkan kebijakan pemotongan nilai uang. Keputusan ini diberlakukan pada jam 20.00 WIB tanggal 10 Maret 1950, dan tenar dengan nama kebijakan ‘Gunting Syafruddin’.

Saat itu ekonomi Indonesia sedang terpuruk, inflasi menumpuk, dan harga melambung.

Menurut kebijakan itu, ‘uang merah’ (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp5 ke atas harus digunting menjadi dua.

Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus pukul 18.00 WIB. Mulai 22 Maret sampai 16 April, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat lain yang ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, bagian kiri itu pun sudah tidak berlaku lagi.

Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara, setengah dari nilai semula, dan akan dibayar 40 tahun kemudian dengan bunga 3 persen setahun.

Kebijakan ini tidak diberlakukan terhadap uang ORI (Oeang Republik Indonesia).

***

Sanering berikutnya diterapkan pada 1965. Untuk menghambat laju inflasi pada saat itu, pemerintah memberlakuan mata uang rupiah baru melalui Penetapan Presiden No. 27 Tahun 1965 tanggal 13 Desember 1965. Dengan ini, uang Rp1.000 dipotong nilainya menjadi Rp1 saja.

Saat itu pemerintah lagi tekor berat, gara-gara harus membiayai proyek-proyek mercusuar Soekarno seperti Games of the New Emerging Forces (Ganefo) dan Conference of the Emerging Forces (Conefo).

Buku “Sejarah BI” mencatat sejak saat itu sampai Agustus 1966, uang rupiah baru dan lama beredar bersama-sama. Untuk menghilangkan dualisme, semua instansi swasta diwajibkan menggunakan nilai rupiah baru dalam perhitungan harga barang dan jasa serta keperluan administrasi keuangan.

Proses transaksi jadi luar biasa membingungkan. Masyarakat panik. Pemerintah menjelaskan, kebijakan kali ini berbeda dengan ‘Gunting Syafruddin’ di tahun 1959.

Percuma.

Penjelasan itu tak mempan. Pasar diserbu dan harga meroket. Transaksi makan waktu lama. Warga kesulitan menentukan harga karena yang beredar dua model uang.

Menurut pengamat bursa berjangka, Jahja W. Soedomo, “Tahun 1965, nilai uang sama saja. Hanya nolnya yang dikurangi tiga. Gaji dibagi seribu, tapi harga makanan juga diturunkan, dihilangkan nolnya tiga.”

Kondisi 1965, kata Jahja, jauh berbeda dengan 1959. “Saat itu saya baru masuk kerja jadi memang kacau. Pemerintah menjual paksa surat utang negara dan meminjam paksa dari masyarakat.”

Juga dicatat buku “Sejarah BI,” kebijakan ini kembali gagal memperbaiki keadaan. Tak cuma itu, bahkan dinilai ikut serta meningkatkan beban pemerintah, jumlah uang beredar, dan laju inflasi.

Harga bensin, misalnya, malah naik empat kali lipat. Dari semula Rp250 per liter, menjadi Rp1 dengan uang baru atau setara Rp1.000 dengan uang lama. Buntutnya, biaya angkutan ikut naik. Tarif kereta api meningkat 500 persen. Harga barang pun membubung.

***

Memang, kisah sanering di atas berbeda konsep dengan wacana kebijakan redenominasi Rupiah yang dilontarkan Bank Indonesia sekarang. Akan tetapi, sejarah kelam yang masih membekas itu teramat penting untuk diabaikan bank sentral jika benar akan memotong, … eh, menyederhanakan nilai rupiah. (kd)

Sumber : vivanews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berikan Komentar/Testi/Komplain Anda

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.